Rss Feed

hubungan setratifikasi sosial dalam penegakan hukum di Indonesia

A. LATAR BELAKANG
           
            Pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi, cita-cita tersebut selalu akan tertumbuk pada kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan warganya pada tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajibannya sebagai akibat dari penempatan itu. Dengan demikian, maka masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan individu-individu tersebut dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya. Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan-keinginan warga masyarakat dan sesuai dengan kemampuannya, maka tak akan dijumpai kesulitan-kesulitan. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian, kedudukan dan peranan tertentu memerlukan kemampuan dan latihan, karena pentingnya kedudukan serta peranan tersebut tidak selalu sama. Maka, tidak dapat dihindarkan lagi masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar warganya mau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat.
            Konsep diri tergantung pada lingkungan sosial primernya. Perilaku individu mencerminkan keinginan untuk memperoleh dukungan sosial. Dimulai ditingkat individu yaitu dalam menjelaskan (bukan hanya menggambarkan) perilaku sosial harus menggunakan psikologi individu). Oleh karena itu,  masyarakat pada hakekatnya terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang saling mempengaruhi, dan susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan didasarkan pada suatu pola tertentu. Suatu perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
            Melihat dari gambaran perkembangan sosial dan hukum, dapat diketahui bahwa hukum dibentuk oleh negara dimana hukum tersebut merupakan ekspressi keinginan-keinginan masyarakat. Oleh karena itu hukum terikat oleh kondisi-kondisi  yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perubahan-perubahan dalam hukum banyak tergantung pada hubungan antar kelas dalam masyarakat.
B. PERMASALAHAN
            Tidak benar kalau dikatakan bahwa penegakan hukum itu adalah merupakan aksi atau kegiatan yang datar-datar saja. Kita sudah hidup di abad ke- 21, bahkan di abad ke-20 saja sudah terjadi perubahan-perubahan besar dalam pemikiran mengenai hukum. Kita sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih luas dan kontekstual. Kita sudah lama ditarik keluar dari kandang legalistik yang sempit itu dan dicerahkan oleh tujuan-tujuan hukum yang lebih luas. Namun, sepertinya para petinggi hukum hanya bicara tentang keberadaan rambu-rambu hukum yang memang ada, tetapi yang di dalam kenyataannya justru tidak berdaya (atau mungkin sengaja tidak diberdayakan oleh sosok-sosok petinggi atau penegak hukum tertentu). Jadi, bagaimanakah hubungan setratifikasi sosial dalam penegakan hukum di Indonesia?
BAB II
HUBUNGAN SETRATIFIKASI SOSIAL DALAM
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
            Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
            Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kompleks, Homogenitas corak adat dan tradisi tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan alam dan keadaan setempat. Jauh sebelum kedatangan Belanda, di Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan yang berdaulat ke dalam dan ke luar (de facto atau de jure). Semua kerajaan tersebut diatur oleh pemerintahan yang dikepalai seorang sultan atau raja beserta para pembantunya. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kaum bangsawan yang bekerja di kerajaan otomatis menjadi pegawai daerah. Kaum bangsawan yang memegang pimpinan maupun kaum bangsawan yang tidak memegang pimpinan kemudian bekerja sama dengan pegawai Republik Indonesia untuk membina masyarakat yang baru merdeka.
            Dewasa ini kehidupan bangsa yang mejemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain (mutual respect and mutual understanding) telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Melihat betapa besarnya peranan dan kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah, sedangkan pemerintah itu sendiri, baik karena kodratnya maupun oleh berbagai faktor diluarnya cenderung menyalahgunakan kekuasaan dengan bermacam dalih pembenaran oleh karena itu tak jarang tindakan pemerintah menimbulkan kerugian terhadap rakyat.
            Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
            Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Seluruh kewajiban pada prinsipnya merupakan ekspresi kewenangan atribusi negara yang terwujud dalam kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik pada dasarnya berdimensi sangat luas, tidak hanya dalam bentuk peraturan tertulis atau surat keputusan para pejabat publik dari pusat hingga daerah, tetapi mencakup semua tindakan para pejabat publik tersebut serta berbagai program yang mereka jalankan.
            Prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi warganya. Penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.
            Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit dua hal yang menonjol, pertama para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah warga masyarakat yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi, mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektivitas pelaksanaan hukum sedikit banyak dirtentukan oleh sahnya hukum tadi.
            Hal yang kedua adalah, sistem hukum antara menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini ada hak warga masyarakat yang tidak dapat dijalankan karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya ada hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh keuatan-kekuatan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal-balik, di satu pihak hukum memberi batasan kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya hukum.
      Maka tidak benar bahwa penegakan hukum itu hanya tinggal menarik garis lurus yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian di lapangan. Ternyata banyak faktor-faktor yang ikut campur di situ. Penelitian di Amerika mengenali faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap sopan tersangka, ikut menentukan penahanan pada seseorang. Semakin besar jarak sosial antara pelapor-korban dengan tersangka semakin besar kemungkinan dilakukan penahanan. Kemngkinan penahanan akan meningkat jika tersangka menunjukkan sikap tidak hormat terhadap polisi. Kemungkinan penahanan akan lebih besar pada kejahatan yang serius dari pada yang kurang. Kesimpulan umum mengatakan bahwa banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Pada waktu polisi ingin melakukan penahanan saja banyak faktor yang terlibat di situ, sehingga melahirkan informasi luas mengenai "sosiologi penahanan" (the sociology of arrest).
            Kondisi abnormal seperti ini bak gayung tak bersambut dengan tatanan masyarakat saat ini. Neo-liberalisme saat ini telah mengubah tatanan masyarakat dan hubungan antar manusia yang dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi, seperti dalam kinerja ekonomi pasar. Dampak dari gejala mengenai itu adalah komersialisasi di segala bidang, tak luput juga komersialisasi hukum.
            Bentuk-bentuk komersialisasi hukum ini adalah biaya perkara yang sangat tinggi di tingkat pengadilan. Biaya tinggi sangat dipengaruhi dengan standar biaya perkara yang telah ditentukan dan praktek mafia peradilan yang terjadi hampir pada seluruh instansi peradilan. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan menjadi pusaran terjadinya mafia peradilan. Pada akhirnya masyarakat apatis terlebih dahulu untuk memperjuangkan keadilan karena biaya yang sangat tinggi dan adanya praktek jual beli pasal.
            Masalah akses mendapatkan keadilan (access to justice), meskipun terbatas pada bantuan hukum (legal aid) bagi “si miskin”, sebenarnya adalah masalah yang tidak mudah diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah akses mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum semata melainkan juga merupakan masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang semakin luas, tingkat buta huruf yang tinggi, dan keadaan kesehatan yang buruk.
      Pada pertengahan abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhananya penegakan hukum. Tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Dalam penegakan hukum jangan lagi orang bicara berdasar prinsip "peraturan dan logika" (rules and logic) semata. Penelitian-penelitian lapangan mulai banyak dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada waktu hukum harus dijalankan di masyarakat.
            Sehubungan dengan apa yang dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua hipotesis, yaitu:
1.      Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
2.      Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
            Profesor Donald Black (dalam The Behavior of    Law, 1976) merumuskan bahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka,  tindakan-tindakan individu maupun massa yang dari optik yuridis dapat digolongkan berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial oleh rakyat.
            Berbagai tindakan anarki dalam wujud tindakan main hakim sendiri maupun tawuran, pertikaian suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan jenis pelanggaran hukum lain, menjadi fenomena yang kini tampak di berbagai tempat di Tanah Air. Berbagai tindakan anarkis dan main hakim sendiri itu, celakanya, hanya ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh penguasa dan aparat penegak hukum, serta mengabaikan "akar masalah"-nya sendiri. Padahal mestinya disadari, perilaku anarkis itu lahir dalam suatu lingkungan yang kondusif, baik secara struktural maupun   situasional.
            Setiap kasus dengan demikian merupakan suatu struktur komplek posisi-posisi dan hubungan-hubungan sosial. Kaum realis sering mengemukakan, generally speaking, legal   doctrine alone cannot adequately predict or explain how cases are handled (secara umum, doktrin hukum semata tidak dapat secara memadai meramalkan atau menjelaskan bagaimana kasus-kasus ditangani). Memang di satu pihak penanganan situasional dibutuhkan, misalnya diharapkan suatu tindakan tegas dan profesional oleh aparat penegak hukum terhadap para pelaku anarkis, namun di pihak lain, penanganan secara mendasar pada akar masalahnya, juga harus ditangani secara nasional.
            Perlu disadari bahwa berbagai tindakan anarkis yang terjadi belakangan ini, merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap  penegakan hukum itu memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri akan meningkat, demikian sebaliknya. Untuk itulah sangat beralasan dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Apa yang dimaksudkan sebagai strategi raksasa ialah pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penegakan hukum.
            Bagaimana mungkin masyarakat akan pulih kepercayaannya jika yang mereka saksikan dalam proses penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus KKN kelas kakap, masih seperti yang dialunkan oleh syair aku masih seperti yang dulu. Berbagai sikap diskriminatif, dilakonkan para penegak hukum negeri ini. Tampak benar oleh mata hati masyarakat bahwa asas equal justice under law masih merupakan lips service. Hanya bahan retorika belaka para petinggi.
            Pengembalian kepercayaan itu tentu saja harus dimulai dengan pelengseran para petinggi hukum dan penegak hukum yang tergolong sosok-sosok sapu kotor. Dari sekitar 80-an calon hakim agung yang kini akan dipilih DPR, seyogianya 20 orang bakal tersisa, yang notabene  benar-benar orang baru dan dengan paradigma baru, yang tak pernah  bersentuhan dengan sistem pemerintahan di masa lalu. Dan, memiliki catatan prestasi yang baik, khususnya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap upaya menjadikan hukum sebagai panglima di republik ini. Kejaksaan Agung pun tak terkecuali, harus dibersihkan.
            Kondisi keterpurukan hukum di Indonesia saat ini, hanya mungkin diatasi, jika para penegak hukum lebih banyak bertanya kepada hati nuraninya, daripada perutnya. Faktor-faktor yang turut menentukan pekerjaan penegakan hukum tidak harus datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Di sini dikemukakan preposisi, bahwa "ada dua penegak hukum, akan ada dua macam penegakan hukum". Itu berarti, bahwa hukum bukan hanya soal peraturan tetapi juga keterlibatan manusia secara utuh. Di sinilah relevansi membicarakan faktor "keberanian" jaksa. Secara legalistik semua jaksa di Indonesia itu sama, tetapi tidak dari optik yang sudah tercerahkan. Katakanlah ada dua jaksa bisa terjadi dua macam aktivitas penegakan hukum.
            Secara implisit almarhum Baharuddin Lopa telah menunjukkan profil keberanian seorang jaksa dan oleh karena itu seorang jaksa Lopa menjadi berbeda dari jaksa-jaksa lain. Ini sama saja dengan seorang hakim Bismar dan seorang polisi Hoegeng, yang juga berbeda dari rekan-rekannya yang lain. Faktor yang membedakan adalah predisposisi sikap batin masing-masing. Lopa, Bismar, dan Hoegeng selalu merujuk kepada hati-nurani dan itulah yang menyebabkan timbulnya keberanian.
            Dalam perspektif pendekatan berbasis hak asasi manusia (rights basedapprouch), isi hukum (content of law) dan tata laksana hukum (struture of law) menjadi titik perhatian karena menyangkut pihak yang mengemban kewajiban (duty bearers), yakni negara (public authorities) manakala menjalin relasi dengan subyek hak (right holders) yakni warga negara (public). Untuk dapat mendapatkan gambaran apakah negara melalui kebijakan publiknya sudah berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga, produk kebijakan publik yang dapat dijadikan acuan tertuang dalam peraturan perundang-undangan/regulasi (regulation) dan anggaran (budget).
            Paradigma hukum sebagai penjamin kebebasan dan hak, yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang disebut kewenangan dan kekuasaan mana yang disebut keseweng-wenangan, inilah yang dalam konsep moral dan metayuridis disebut konstitusionalisme, dan dalam bahasa politiknya disebut demokrasi. Peraturan perundang-undangan merupakan upaya negara untuk dapat memfungsikan hukum ditengah kehidupan masyarakat. Peraturan perundang-undangan memastikan atau mempositifkan mana kebebasan asli warga yang akan dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak asasi dan mana pula yang akan dikecualikan.
            Sementara itu, di lain pihak, peraturan perundang-undangan akan memastikan kekuasaan para penguasa yang dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan mereka. Positivisasi mengenai relasi antara hak kebebasan warga dan kewenangan aparat pemerintah semestinya diposisikan dalam paradigma konstitusional dalam kehidupan negara hukum.
            Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka kelirulah bila kita mengatakan bahwa penegakan hukum tidak ada hubungannya dengan masalah keberanian. Lebih lagi menghadapi suatu keadaan luar biasa dewasa ini, kita sungguh membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Penegakan hukum progresif tidak bisa diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget (compassion, empathy, commitment dan dare atau courage). Maka faktor keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
            Pada prinsipnya pembangunan yang kita laksanakan adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, ini berarti kita berusaha untuk memenuhi kebutuhan manusia juga secara utuh, tidak hanya kebutuhan fisik kebendaan, akan tetapi juga kebutuhan hati nurani. Tuntutan hati nurani juga tiada hentinya, yaitu terwujudnya keadilan dan perlindungan hukum bagi warga negara.
            Namun, kondisi abnormal telah mengubah tatanan masyarakat dan hubungan antar manusia yang dipandu oleh prinsip transaksi labarugi, seperti dalam kinerja ekonomi pasar. Alangkah baiknya jika prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, benar-benar dilakukan dengan baik oleh pemerintah. Penyelenggaraan bantuan hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berarti bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya. Perlu diketahui bahwa tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcement, sudah teramat buruk.
            Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
            Sehubungan dengan apa yang dijelaskan, dapatlah ditemukan paling sedikit dua hipotesis, yaitu:
1.      Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
2.      Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya.
            Kebesaran Negara Indonesia tidak mampu menutupi besarnya persoalan kebangsaan yang dihadapinya. Mulai dari masalah-masalah yang berkembang di tingkat lokal sampai dengan masalah yang berkembang di tingkat nasional, bahkan internasional. Hal ini tentunya membawa sebuah kemirisan bagi seluruh elemen bangsa ini. Tawaran solusi yang diberikan pemerintah berupa kebijakan-kebijakan struktural tetap saja tidak menunjukkan suatu perbaikan yang signifikan. Bahkan solusi tersebut cenderung menambah persoalan yang sudah ada karena akar permasalahan tidak tersentuh sama sekali. Arah reformasi yang diidam-idamkan dapat menjadi tonggak sejarah pencerahan dan batu penjuru perbaikan justru malah membuat rakyat semakin bingung karena reformasi sudah salah arah.
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto, Rahardjo. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988.
Topatimasang, Roem. Advokasi Kebijakan Publik : Ke Arah Suatu Kerangka Kerja Terpadu dalam, Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pact dan Insist, 2000.
Wignyosoebroto,  Soetandyo. Hubungan Antara Masyarakat dan Negara dalam Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan Huma, 2002.

0 comments:

Post a Comment